Kasus #1
Sebut saja namanya Pak Nur, seorang perantau dari Jawa yang bermukim di Sumatera sejak 30 tahun lalu.
Ia tinggal di sebuah petak tanah yang beliau pinjam di bilangan Indralaya. Tempatnya agak jauh dari pemukiman, sekira 400 meteran. Kanan kiri rumah yang ia tinggali masih berupa perkebunan sawit dan karet. Dus, rumahnya termasuk sepi.
Di sini, ia membuka bengkel las sambil berkebun a la kadar. Dari usahanya inilah, ia berhasil mengantarkan ketiga anaknya mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah tingkat atas. Sebuah usaha yang luar biasa bagi orang kecil sepertinya.
Sekarang, seluruh anak-anaknya yang berjumlah 3 anak sudah menikah semua. Dia heran ketika kondisi seperti ini, usahanya tidak sebagus dulu. Waktu anaknya masih berada dalam tanggungannya, selalu ada saja order untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang tidak sedikit itu. Tapi tidak untuk saat ini.
Kasus #2
Sebut saja Pak Muji. Anak-anaknya ada tujuh, meninggal empat. Ketika anak ketiga yang menjadi anak pertama masih kecil, dia bekerja menjadi buruh. Kadang menjadi tukang jagal lalu juga mengangkut daging jagalan dari majikannya ke pasar, kadang juga membeli kayu sengon yang dia gergaji sendiri (bersama partnernya) menjadi papan dan balok, semuanya merupakan bahan bangunan untuk membuat rumah, yang ia jual ke pengumpul.
Dia juga punya penghasilan tambahan dari penjualan tanaman cengkeh, jengkol, nangka, kluwih, melinjo, dan petai.
Ketika anaknya sudah besar dan tidak berkumpul lagi dengannya ia tidak lagi menjadi buruh angkut daging, sedang tanamannya juga ikut "hilang".
******
Dari dua kasus di atas mungkin bisa ditarik pelajaran bahwa setiap anak itu membawa rezekinya masing-masing adalah benar adanya.
"Wa maa min daabbatin fiyl ardhi illa 'ala'Llahi rizquhaa" , dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Gusti Allah rezekinya". Quran Surah Huud: 6.