Alhamdulillah, saya berkesempatan mengunjungi kembali Kota Jogja. Meski lahir di Jawa Tengah, baru dua kali saya mengunjunginya. Yang pertama, bersama keluarga dari daerah Pesisiran pakai mobil colt tua carteran, 6 tahun yang lalu. Dan yang kedua, terbang dari Kota Palembang, untuk mengikuti acara Rakernas Baitul Maal Hidayatullah XI beberapa hari yang lalu.
Ngomongin Kota Jogja, saya jadi teringat lagu "Yogyakarta" yang dibawakan oleh KLa Project saat saya masih duduk di SD Inpres Kelas IV tahun 1989 dulu.
Oke, pada penerbangan rute Palembang - Jogja, saya mendapatkan sebuah kejutan. Didamprat mbak pramugari? Bukan, bukan itu. Saya bukan tipe pelanggar aturan. Mbak pramugari yang biasanya dikenal (sensor), berperawakan tinggi, tidak gemuk, dan berpakaian astaghfirullah itu, ada dua orang mbak pramugari yang pakai hijab. Whatttt? Saya meyakinkan diri (tidak pakai cubit pipi sendiri, sakit) bahwa saya sedang di atas pesawat Nam Air menuju Jogja, bukan naik Emirates atau Saudi Arabia Airlines menuju Jeddah. Ini bukan pula perjalanan umroh. Pemandangan seperti ini terasa ganjil. Di saat masih ada perusahaan yang menolak pakaian hijab, keberadaan mereka di perusahaan penerbangan Nam Air milik grup +Sriwijaya Air patut diapresiasi. Ingat! ini pramugari bukan guru madrasah, bukan pula karyawan bank syariah.
Ramah, itulah kesan yang sangat nampak dari warga Jogja saat mendarat di Bandara International Adi Sutjipto. Apa karena telinga saya telinga Jawa, ya?
Bandara ini penuh dengan manusia dengan berbagai kepentingannya. Turis bule akan sering kita temui di sini. Kalau berani dan punya nyali, inilah tempat yang tepat untuk ber-say hello. Sekaligus menunjukkan kepandaian berbahasa Inggris meskipun skor TOEFL berkisar 200-an. Orang Jepang pun ada saya lihat. Namun saya curiga, lebih banyak pengantar/penjemput dan driver taxi/travel daripada penumpang kayak kami, hehehe! Sayangnya, ada beberapa kali, saya temui ada orang dengan pakaian yang minim, memperlihatkan (sensor) mereka. Jelas, ini tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Dari sisi arsitektur bangunan, jika dibandingkan dengan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, bandara Adi Sutjipto relatif lebih kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan Balikpapan.
Selepas dari sini, saya dan anggota bersiap menuju tempat acara. Setelah sekian lama menunggu jawaban SMS, pihak panitia menyarankan agar kami naik busway: Trans Jogja, dengan tujuan Monjali. Eh, sebentar! Nama Monjali sempat bikin saya kepo. Namanya kok nggak familiar di telinga saya, ya? Apa karena saya bukan orang Jogja? Setelah tiba di tempat, saya baru tahu bahwa Monjali itu nama pendek dari "Monumen Jogja Kembali",
sebuah monumen yang berbentuk nasi tumpeng. Oalah, kalau ini sih saya sudah tahu sejak SMP. Saya lupa, ada kebiasaan warga Jawa Tengah dan DIY suka menyingkat nama-nama. Lampu lalu lintas yang berwarna merah, kuning, hijau disebut Bangjo (abang, ijo) merujuk pada warna dalam bahasa Jawa yang artinya merah hijau.
Trans Jogja yang saya naiki memiliki beberapa kenyamanan:
Singkat kata tibalah kami di halte Monjali di dekat pintu masuk Monjalinya. Sesuai arahan panitia kami disuruh menunggu penjemput di warung Kupat Tahu. Oleh panitia, kami disediakan makan gratis dengan rincian 1 porsi kupat tahu dan 1 gelas dawet ayu. Tawaran ini tentu tidak kami sia-siakan. Prinsipnya jangan pernah menolak rizki apalagi yang gratis. Syukuri sebab kalau gak bersyukur "inna adzaabi lasyadiid". Hiih, serem!
Saya baru benar-benar menyadari bahwa masakan Jawa ternyata cenderung manis. Maklum lebih separo umur saya berada di luar Jawa, jadi bisa membandingkan.
Berbeda dengan masakan dari daerah lain, misalnya: Sumatera yang cenderung pedas. Ambil contoh Pempek dan cukonya, pedas nian! Masakan Minang padeh juo!
Nah, masakan Jawa cenderung manis: kupat tahu, geplak, wajik, jenang, gudeg, gula kacang, opor ayam, tempe bacem, dawet apalagi. Sekali lagi, manis-manis mirip senyum saya (palu mana palu?)
Di bawah ini sambungannya
Ngomongin Kota Jogja, saya jadi teringat lagu "Yogyakarta" yang dibawakan oleh KLa Project saat saya masih duduk di SD Inpres Kelas IV tahun 1989 dulu.
Oke, pada penerbangan rute Palembang - Jogja, saya mendapatkan sebuah kejutan. Didamprat mbak pramugari? Bukan, bukan itu. Saya bukan tipe pelanggar aturan. Mbak pramugari yang biasanya dikenal (sensor), berperawakan tinggi, tidak gemuk, dan berpakaian astaghfirullah itu, ada dua orang mbak pramugari yang pakai hijab. Whatttt? Saya meyakinkan diri (tidak pakai cubit pipi sendiri, sakit) bahwa saya sedang di atas pesawat Nam Air menuju Jogja, bukan naik Emirates atau Saudi Arabia Airlines menuju Jeddah. Ini bukan pula perjalanan umroh. Pemandangan seperti ini terasa ganjil. Di saat masih ada perusahaan yang menolak pakaian hijab, keberadaan mereka di perusahaan penerbangan Nam Air milik grup +Sriwijaya Air patut diapresiasi. Ingat! ini pramugari bukan guru madrasah, bukan pula karyawan bank syariah.
------------------------------------
Ramah, itulah kesan yang sangat nampak dari warga Jogja saat mendarat di Bandara International Adi Sutjipto. Apa karena telinga saya telinga Jawa, ya?
Bandara ini penuh dengan manusia dengan berbagai kepentingannya. Turis bule akan sering kita temui di sini. Kalau berani dan punya nyali, inilah tempat yang tepat untuk ber-say hello. Sekaligus menunjukkan kepandaian berbahasa Inggris meskipun skor TOEFL berkisar 200-an. Orang Jepang pun ada saya lihat. Namun saya curiga, lebih banyak pengantar/penjemput dan driver taxi/travel daripada penumpang kayak kami, hehehe! Sayangnya, ada beberapa kali, saya temui ada orang dengan pakaian yang minim, memperlihatkan (sensor) mereka. Jelas, ini tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Dari sisi arsitektur bangunan, jika dibandingkan dengan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, bandara Adi Sutjipto relatif lebih kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan Balikpapan.
Selepas dari sini, saya dan anggota bersiap menuju tempat acara. Setelah sekian lama menunggu jawaban SMS, pihak panitia menyarankan agar kami naik busway: Trans Jogja, dengan tujuan Monjali. Eh, sebentar! Nama Monjali sempat bikin saya kepo. Namanya kok nggak familiar di telinga saya, ya? Apa karena saya bukan orang Jogja? Setelah tiba di tempat, saya baru tahu bahwa Monjali itu nama pendek dari "Monumen Jogja Kembali",
sebuah monumen yang berbentuk nasi tumpeng. Oalah, kalau ini sih saya sudah tahu sejak SMP. Saya lupa, ada kebiasaan warga Jawa Tengah dan DIY suka menyingkat nama-nama. Lampu lalu lintas yang berwarna merah, kuning, hijau disebut Bangjo (abang, ijo) merujuk pada warna dalam bahasa Jawa yang artinya merah hijau.
Baca juga: Trip to Bengkulu: Rute, Mabuk Kepayang, dan Ikon Kota Bengkulu
Trans Jogja yang saya naiki memiliki beberapa kenyamanan:
- Bertarif Rp 3.000,- per penumpang untuk perjalanan jauh atau dekat. Relatif murah. Soalnya jika dibandingkan naik taxi argo pada malam hari, 'kan argonya jadi gak berfungsi. Sehingga perjalanan sejauh 20-an km di seputaran Jogja ongkosnya sama dengan naik bus Jogja-Magelang-Sukorejo 130 km pulang pergi plus sedekah ke pengamen dan biaya ke WC terminal.
- Tidak diganggu pengamen dan pedagang kua-kua. Bukan berarti saya menganggap mereka sebagai penganggu. Bukan Akhi, bukan! Hanya saja, saat kita dalam perjalanan jauh, capek lagi, terus diganggu suara cempreng, pakai alat musik tutup botol Coca C*la, mana penampilan awut-awutan, membuat saya ingin tidur dan bermimpi. Lain lagi kalau suaranya merdu kayak Hamdan ATT, kemampuan musikalitas memadai, saya rela kok keluar bujet Rp 500,-. Hah, berapa? Oke-oke saya naikkan jadi Rp 1.000,-.
- Terjadwal, tidak seperti angkot ngetem yang terkadang harus nunggu penumpang penuh dulu baru jalan. Busway akan tiba di halte secara periodik. Sedangkan ketidaknyamanannya adalah armadanya sudah agak tua -yang saya lihat- bermerk Hyund*i, tidak seperti armada Trans Musi Palembang, ada yang bermerk Merced** Benz! Kan keren gitu...
------------------------------------
Singkat kata tibalah kami di halte Monjali di dekat pintu masuk Monjalinya. Sesuai arahan panitia kami disuruh menunggu penjemput di warung Kupat Tahu. Oleh panitia, kami disediakan makan gratis dengan rincian 1 porsi kupat tahu dan 1 gelas dawet ayu. Tawaran ini tentu tidak kami sia-siakan. Prinsipnya jangan pernah menolak rizki apalagi yang gratis. Syukuri sebab kalau gak bersyukur "inna adzaabi lasyadiid". Hiih, serem!
Saya baru benar-benar menyadari bahwa masakan Jawa ternyata cenderung manis. Maklum lebih separo umur saya berada di luar Jawa, jadi bisa membandingkan.
Berbeda dengan masakan dari daerah lain, misalnya: Sumatera yang cenderung pedas. Ambil contoh Pempek dan cukonya, pedas nian! Masakan Minang padeh juo!
Nah, masakan Jawa cenderung manis: kupat tahu, geplak, wajik, jenang, gudeg, gula kacang, opor ayam, tempe bacem, dawet apalagi. Sekali lagi, manis-manis mirip senyum saya (palu mana palu?)
Di bawah ini sambungannya
Trip to Jogja #2: Kaliurang, Makan Tanpa Ikan, dan Malioboro