Bangsa Nusantara (baca: Indonesia), yang tersusun dari ratusan suku bangsa memberikan peluang terjadinya pernikahan lintas suku. Pernikahan lintas suku merupakan salah satu elemen dari penguatan "national building" dari bangsa ini.
Namanya juga beda suku, banyak hal unik dan lucu yang sering ditemui dalam perjalanan keluarga. Masalah makanan misalnya, satu suka makan ikan, satu suka tempe. Masalah warna, satu suka warna gelap, satunya warna cerah. Belum lagi bicara tentang bahasa, adat dan karakter. Keadaan seperti ini mesti dipahami bukan sebagai hal yang saling berlawanan namun saling melengkapi dan mengayakan.
Kondisi dalam keluarga lintas suku, seperti saya misalnya yang berdarah Jawa dan istri berdarah Sulawesi, menyebabkan anak-anak kami mengalami hal-hal sebagai berikut
1. Bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam rumah
Dengan alasan kemudahan berkomunikasi antara Ayah dan Ibu, bahasa Indonesia menjadi bahasa wajib dalam rumah. Akibatnya, anak-anak juga ikut menggunakannya. Soalnya jika ayah dan ibu menggunakan bahasa daerah masing-masing, anak-anak akan bingung
Ayah : "Bu, piye, wis padha mangan kabeh?"
Ibu : "Purani manre nasseng, di. Ayah?"
Ayah : "Ooo, wis 'dha mangan tho, nek durung iki mau tak tukokke sate wedhus"
Anak : "??????@@#$%%$*"
2. Tidak Bisa Berbahasa Daerah Ayah atau Ibu
Masih berhubungan dengan butir 1, anak-anak akhirnya gak bisa berbahasa daerah. Mau gimana lagi? Kalaupun tahu paling hanya beberapa kata. Uniknya, anak saya malah fasih berbahasa daerah Palembang, cak mano pulok ini? Ini berlaku jika mereka berada di luar daerah asal ayah-ibu.
3. Punya sanak keluarga yang jauh (antar pulau)
Namanya juga anak hasil beda suku, tentu punya keluarga yang jauh. Kakek, ada di Semarang, ada di Sulawesi, Om atau Tante ada di Samarinda, Balikpapan dan ada pula di Makassar. Dan ada pula di lereng Gunung Prahu.
4. Naik Pesawat jika Silaturrahim ke Keluarga Jauh
Saat sang ibu mengunjungi keluarga yang jauh, moda transportasi yang dipilih, ya pesawat. Alasannya, cepat sampai dan tarifnya gak beda jauh dengan kapal Pelni. Berbeda jika ayah ibu berasal dari satu desa beda RW, jalan kaki pun cukup.
5. Kaya akan pengalaman dan bangga ber-Indonesia
Ini adalah efek samping dari butir 2 hingga 4, anak-anak punya pengalaman yang relatif kaya dalam hidupnya.