Di Kota Palembang, ada daerah yang bernama “Kenten”. Sebagai orang yang lahir di Tanah Jawa, dan masih baru di sini, saya mengucapkan kata “Kenten” seperti mengucapkan kata “Senen” pada bahasa Jawa. Namun, pengucapan seperti ini adalah tidak tepat. Orang Palembang, mengucapkan kata “Kenten” seperti mengucapkan kata “Canton”, sebuah Kota di Negara China sana. Saya merasa pengucapan tersebut tidak salah, toh ejaannya sama-sama huruf “”e” baik pada suku kata pertama maupun suku kata kedua. Apanya yang salah? Namun, mau tidak mau harus mengikuti pengucapan yang berlaku di sini, Kenten ya dibaca “Canton”.
Dalam kasus ini, saya jadi teringat fonem “eu” yang digunakan di Tanah Sunda dan Nanggroe Aceh Darussalam. Orang dari daerah tersebut beruntung mempunyai fonem “eu” dalam sistem penulisan. Fonem “eu” digunakan untuk menggantikan bunyi “e pepet” seperti pada kata perang. Di Aceh misalnya, banyak kata yang mengandung fonem “eu” seperti: Lhokseumawe, Meulaboh, Peureulak, Beureu-eh, Seudati, dan seterusnya. Begitu pula di Tanah Sunda, seperti geulis (), Dayeuhkolot, Cicaheum, jeung, Cihideung, dan seterusnya.
Jika fonem “eu” diberlakukan di Kota Palembang maka daerah Kenten akan ditulis “”Kenteun”, sehingga saya tidak akan salah mengucapkan kata Kenten seperti membunyikan “Senen”.