Setiap pagi, setiap hari kerja, tetangga dekat rumahku didatangi seorang ibu muda dan suaminya yang sama-sama bekerja di sebuah instansi pemerintah. Mereka menitipkan putri mereka yang masih balita. Seperti biasa, si putri kecil akan menangis sejenak dan kemudian dibujuk oleh tetangga, seorang nenek yang cukup care, agar terdiam. Si putri kecil akan berpisah dengan sang ibu hingga jam kerja usai. Menurut nenek tadi, hal ini sudah berjalan selama 3 tahunan.
Dari jarak sekitar seratus meter dari rumah, terdapat juga tempat penitipan anak. Usia anak yang ditampung mulai usia PAUD, TK dan SD. Kasusnya sama dengan di atas, mereka ditinggal sang ibu yang sibuk meniti karier. Tidak seperti sang Nenek yang hanya mengurus satu putri, di tempat penitipan ini, sekian puluh anak diasuh oleh beberapa pengasuh.
Di rumah, anak-anak saya senantiasa bersama ibunya, kapan pun mereka membutuhkan sang ibu: saat lapar, haus, dan tempat mengadu; sang ibu dalam keadaan stand by. Baik pada waktu produktif (pagi dan siang hari) maupun di waktu istirahat (malam hari).
* * * * * * *
Saya membayangkan jika anak-anak saya mempunyai ibu wanita karier? Pagi hari, mereka harus mengikuti ritme kehidupan sang ibu yang mesti berpacu dengan waktu masuk ke kantor. Mungkin sang ibu tak sempat meluangkan waktu untuk tempat bermanja anak-anak. Kecuali sekedar formalitas, “Nak, ayo bangun sudah siang, ibu harus segera ke kantor. Habis mandi, pakai baju, makan sarapannya, minum susunya……”
Selepas itu, anak-anakku harus tinggal bersama orang lain. Bagaimana jika ia menangis, bagaimana jika ia kelahi dengan temannya, bagaimana jika ia rindu ibunya, bagaimana jika ia rewel. Pertanyaan lainnya, apakah pengasuh anak-anakku ikhlas mengasuh, bagaimana ia mendidik anakku, dengan ilmu dan cara apa? Bagaimana ia mendiamkan tangis anakku? Dikasih permen, kah? Disuruh menonton Naruto, kah? Atau menonton film “Dil To Pagal Hai”? Atau malah dipelototi? Oh, tidaaaaaak! Bagaimana jika anakku ingin makan pisang mauli kesukaannya? Bagaimana jika anakku lapar? Apakah langsung dikasih makan atau menunggu jadwal makan siang? Di kantor istriku, apakah ia mengingat anak-anakku? Apakah diriku juga diingat? ;(
Sore hari, anak-anakku bertemu dengan ibunya? Banyak hal yang ingin dia adukan ke ibunya. Sayang ibunya sudah capek dan tak ada gairah menampung “keluh kesah” anak-anakku. Apalagi pekerjaan rumah sudah menunggu. Seandainya ayahnya bisa menggantikan maqom sang ibu, sayang hal itu tidak bisa. Anak-anakku lebih suka ibunya meskipun ayahnya tidak juga mereka benci. Dan sampai kapan anakku harus mengalami kejadian seperti ini?
Saya ingin anak-anakku mandiri. Tapi tidak secepat ini. Mereka masih “bayi”. Oh Tuhan!
* * * * * * * * *
Tapi tidak, itu hanya khayalanku saja. Istriku bukan wanita karier. Beliau ibu yang spesial bagi anak-anakku dan juga diriku. Diajarinya anakku berlaku baik, belajar salat. Diasuhnya mereka dengan kesabaran dan penuh keikhlasan. Beliau ada saat anak-anakku membutuhkan. Terima kasih, Ibu dari anak-anakku! Hanya Allah Ta’ala yang bisa membalasnya.