Alhamdulillah, akhirnya saya dan keluarga kecilku berada di Palembang. Meninggalkan kampung kelahiran anak-anak saya di Kalimantan Timur. Meski saya belum pernah menginjakkan kaki sebelumnya di sini, nama Palembang sebenarnya sudah tak asing di telinga. Saya sudah sering mendengarnya kala masih usia SD, dari cerita tetangga yang pernah ke sini. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya jika kini saya berada di sini.
1. Kesan Pertama
Dalam perjalanan menuju Palembang, pesawat Lion Air yang kami tumpangi dari Balikpapan, Kaltim mesti transit dulu di Bandara Soetta, Jakarta. Saat kami berada dalam pesawat, kami jumpai banyak warga etnis Tionghoa yang berada di dalamnya. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah warga etnis Tionghoa banyak yang menjadi warga Palembang? Hal ini mengingatkan saya. Delapan tahun lalu saat saya masih pengantin baru, kami pindah dari Samarinda ke Melak, Kutai Barat, kami mengalami kejadian yang hampir sama, kami berada satu kapal dengan warga Dayak dan Kutai. wajah mereka mirip, mata sipit dan berkulit cerah. Setelah sampai sini, saya baru mengetahui bahwa etnis Tionghoa sudah lama eksis di Palembang, bahkan ikut mempengaruhi kuliner dan warna baju adat Palembang yang didominasi warna merah dan kuning keemasan. Selanjutnya tibalah kami di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Arsitektur bandara ini sudah modern dan bersih namun masih kalah besar dan sibuk (menurut pengamatan sepintas) dibanding Bandara Sepinggan Balikpapan. Di apron (terminal domestik) saya lihat ada dua pesawat, Sriwijaya Air dan Lion Air sedang “menunggu penumpang” .
2. Ikon
Setiap tempat mempunyai ikonnya masing-masing, termasuk Palembang. Ikon utama dari Palembang adalah Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang membelah kota ini. Mengingatkanku dengan Samarinda dengan Sungai Mahakam dan Jembatan Mahakamnya, dan Jembatan Kukar yang runtuh itu . Selain itu ada Benteng Kuto Besak (mirip Museum Mulawarman Tenggarong) dan Masjid Agung Palembang
(baca: Pulau Kemaro: Wisata Budaya di Koa Palembang).
3. Kuliner
Tidak usah ditanya apa makanan khas Palembang. Jawabannya tentu saja: pempek. Di Kaltim sudah beberapa kali saya makan pempek namun (sepertinya) tidak seenak di tempat aslinya. Makanan ini berbahan daging ikan yang dicampur dengan sagu (?). Dulunya pempek dibuat dari ikan belida, sekarang diganti dengan ikan tenggiri dan lainnya. Soalnya ikan belida sekarang memasuki masa konservasi dan dilindungi pemerintah akibat populasinya yang makin sedikit. Menurut saya yang membuat pempek terasa lebih enak karena ada cuko-nya. Tanpa cuko makan pempek terasa ada yang kurang. Kemarin saya beli pempek di Flamboyan, Plaju harganya Rp 2.000,- per biji. Selain itu ada juga tekwan dan model, makanan turunan dari pempek.
Bicara ikan belida, jadi teringat Acil Farida, perajin kerupuk ikan belida di kampung Damai, Kutai Barat. Harganya yang relatif mahal membuat saya tidak bisa makan jika tidak diberi oleh beliau .
(Baca: Sagu dan Daging Ikan: Komponen Utama Makanan Khas Palembang).
4. Bahasa
Bahasa Palembang termasuk bahasa Melayu. Sama halnya dengan bahasa Kutai dan Banjar. Jadi agak mudah dipelajari. Ada beberapa kata yang khas seperti kagek (nanti), katek (tidak ada) dan cak mano (bagaimana). Vokal akhir dari kosa kata bahasa sering berakhiran dengan “o”. Tidak tahu apakah ini pengaruh dari bahasa Jawa atau Minang? Ada beberapa kata yang saya dengar “sama” dengan bahasa Jawa seperti melok (ikut), dhewek (sendiri), wong (orang), lanang (laki-laki), banyu (air), lawang (pintu), bae (saja), gedang (pisang), dulur (kerabat), iwak (ikan)
Pernah ada kasus, orang yang baru di Palembang menyangka semua vokal selalu berakhiran “o”, padahal tidak. Kata beda diucapkan “bedo”, Jembatan Ampera diucapkan “Jembatan Ampero”. Tentu saja hal ini mengundang tawa bagi orang asli Palembang
(baca: Seandainya Fonem "eu" Menjadi Ejaan Resmi Nasional).
5. Kesamaan (Perusahaan) Palembang dan Kaltim
Ada kesamaan antara Palembang dengan Kaltim dalam hal perusahaan: di Palembang ada Pusri, di Kaltim ada Pupuk Kaltim (Bontang). Di Palembang ada Pertamina Refinery Unit, di Balikpapan juga ada. Di Sumsel ada Bukit Asam (batu bara), di Kaltim ada Kaltim Prima Coal (Sangatta)
6. Kondisi Geografis
Secara umum wilayah Palembang ada kesamaannya dengan Samarinda: berawa-rawa dan dilalui sungai besar. Temperatur kotanya juga sama panas. Di daerah luar kota juga ada perkebunan sawit dan karet, mirip dengan di Kaltim.
Oke, untuk sementara ini dulu “review” dari saya kapan-kapan diperbarui, Insya Allah